Pertemuan Hangat (Sebuah Interpretasi)

Kampus Fakultas Psikologi UI, Depok,

Suatu sore di bulan Desember 2012

Cuaca sore ini tampaknya merupakan deviasi dari cuaca sore-sore lainnya di bulan ini. Seperti cuaca penghujung tahun pada umumnya di negeri ini, biasanya alam telah gelap dan menghitam meski petang baru saja datang. Namun, cuaca sore ini begitu berbeda. Pada sore ini, tak terlihat awan-awan kelabu gembul yang sejak pukul tiga biasanya sudah berkumpul. Bukannya menghilang mengikuti penggalan terakhir petang, cahaya di lengkung langit sore itu justru semakin terang. Cahaya kuning, keemasan, dan jingga berganti secara berurutan seiring berjalannya petang dan tumpah ke seluruh penjuru kampus. Atap-atap gedung dan koridor, pepohonan, jalan setapak, dan rerumputan tampak berubah warna karena memantulkan kilau cahaya dalam gradasi jingga. Alam seakan terus memancarkan senyum yang hangat hingga matahari terbenam dan membawa cahayanya hingga perlahan menghilang di ufuk barat. Senja jingga berlatar langit biru tua pun digantikan oleh gelapnya malam yang datang dengan khidmat.

Kebahagiaan. Entah kenapa itulah yang kutangkap dari suasana sore-menuju-senja itu. Mungkin hal itu adalah cara siang dan malam merayakan pertemuan mereka. Pertemuan singkat di mana setelahnya, mereka kembali berdiri sendiri-sendiri. Pertemuan yang semakin jarang terjadi pada bulan ini karena kegelapan yang asing—bukan kegelapan malam—memberi jarak pada mereka. Menggantikan petang yang hangat dengan kegelapan yang dingin dan berangin. Pantas saja jika mereka begitu bahagia ketika berhasil meleburkan rindu yang tertumpuk oleh adanya awan kelabu. Karena dalam pertemuan singkat itulah mereka berkesempatan untuk saling memeluk erat sambil menyajikan keindahan tanpa syarat. Teriknya siang dan gelapnya malam berpadu menjadi semburat jingga yang hangat. Keindahan pertemuan mereka tak hanya jadi milik sendiri, tapi juga dinikmati semesta bumi.

Dan pertemuan siang dan malam itu mengingatkanku pada pertemuan antara aku dan kamu. Pertemuan yang tak bisa dibilang sering, namun aku masih saja tak bisa memanfaatkannya dengan baik. Meski tak jarang timbul rasa bahagia saat aku bertatap muka denganmu, masih saja sulit bagiku untuk mengendalikan suasana. Bahkan terkadang aku justru merusak suasana hati sendiri oleh interpretasiku atas sikapmu yang mungkin saja tak lebih dari asumsi. Mungkin saat ini, pertemuan kita tak seindah pertemuan siang dan malam. Tapi aku masih berharap bahwa suatu saat, pertemuan kita akan menjadi lebih indah, bukan hanya bagi kita tapi juga bagi segala di sekitar kita. Dan mungkin, aku akan kembali memiliki kesempatan untuk bertemu denganmu di saat siang dan malam juga larut dalam pertemuan.

NB:

petang: waktu sesudah tengah hari (kira-kira dari pukul tiga sampai matahari terbenam)

senja: waktu (hari) setengah gelap sesudah matahari terbenam

sore: petang

*merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia daring edisi III tahun 2008