Rutinitas

Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk mulai merindukan ritme kehidupan serta atmosfer sosial di pedesaan sejak kami meninggalkan Desa Puncakmanggu, sekaligus mengakhiri periode aksi mengajar di sana. Rutinitas selama mengajar masih menyita ruang kognisi dan emosi saya meskipun sudah tak lagi saya jalani. Selama saya tinggal di sana, saya dan induk semang sekeluarga biasa menutup hari dengan makan malam bersama sebelum akhirnya saya kembali ke kamar dan mempersiapkan materi atau media pembelajaran untuk keesokan harinya, atau langsung memutuskan untuk tidur—atau berbaring sejenak sebelum kembali beraktivitas tapi akhirnya tertidur juga.

Ada kesederhanaan yang membahagiakan setiap kami makan bersama. Hidangan yang biasa tersaji memang seadanya: nasi hangat, ikan hasil tangkapan sendiri dari kolam, sambal, dan berbagai lalapan yang seringkali tampak seperti tanaman liar yang dipetik dari pinggir jalan. Tapi toh, saya tetap melahapnya dengan semangat—karena memang rasanya nikmat. Dua ronde makan jadi standar tersendiri setiap makan malam, hingga induk semang jadi khawatir kalau saya hanya makan sepiring saja. Jika perut kenyang, tidur nyenyak pun jadi gampang. Di daerah yang bersuhu relatif rendah seperti Desa Puncakmanggu, tidur malam menjadi salah satu ‘aktivitas’ paling menyenangkan, terlebih setelah melewati hari yang panjang dan melelahkan. Saya bisa membenamkan diri dalam dua lapis selimut dan terlelap dalam kelembutannya. Sesuatu yang sulit dilakukan di kota tempat saya tinggal sekarang tanpa membuat kasur basah oleh keringat keesokan paginya.

Ketika hari baru dimulai, saya segera bersiap untuk berangkat ke sekolah. Kadang saya juga menyempatkan untuk mempersiapkan materi atau media pembelajaran jika belum dapat saya selesaikan pada malam sebelumnya. Sebelum menuju sekolah, saya selalu mampir ke rumah panitia yang berada tepat di depan sekolah, baik untuk sekadar mengganti sandal jepit dengan sepatu pantofel, bercengkerama dengan sesama pengajar serta panitia, atau menumpang ikut sarapan. Begitu saya melewati gerbang sekolah, murid-murid dari kelas kecil langsung menghambur dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman, sedangkan murid-murid dari kelas besar umumnya sudah sibuk di lapangan dengan permainan bola voli dan sepak takrawnya atau berkumpul di depan kelas mereka yang memang agak jauh dari gerbang sekolah. Ketika saya telah sampai di depan kelas, tak berbeda dengan murid-murid kelas kecil, murid-murid kelas 6 yang saya ajar pun langsung menghampiri untuk bersalaman lalu kembali melanjutkan aktivitas mereka hingga bel masuk berbunyi.

mengajar

Murid-murid itulah yang menjadi alasan saya untuk bangun setiap pagi, mempersiapkan media, materi, dan diri sebaik mungkin, lalu berangkat ke sekolah untuk mengajar. Mereka jugalah yang menjadi alasan bagi saya untuk menjalani rutinitas kunjungan rumah seusai proses pembelajaran di sekolah. Perjalanan melewati jalan naik-turun perbukitan untuk kunjungan rumah bertransformasi dari kewajiban mejadi kebutuhan seiring bertumbuhnya keinginan untuk memberikan yang terbaik untuk mereka. Jalan berbatu tak pernah dikeluhkan—bahkan patut disyukuri mengingat betapa licinnya jalanan tanpa batu ketika hujan turun dan betapa merepotkannya jika terjatuh di jalanan berlumpur, perjalanan jauh seakan jadi petualangan yang menyenangkan, dan rasa lelah menjadi pengingat bahwa itu semua adalah proses yang menguatkan.

Rutinitas itu saya jalani selama lebih dari tiga minggu dan selama itulah semangat saya tak kunjung padam. Saya sendiri pun sempat bertanya-tanya bagaimana bisa saya menjalani rutinitas tersebut dengan adem-ayem dan relatif berbahagia, padahal keterbatasan serta tuntutan terus menyertai. Saya yang pernah mengalami demotivasi ketika menjalani ritme aktivitas semacam itu—berada di tempat asing selama kurang lebih satu bulan—dapat membandingkannya dengan apa yang saya rasakan ketika semangat saya terasa hampir habis terbakar dan minat saya terhadap rutinitas yang saya jalani berkurang jauh. Sedangkan di sana, saya merasa bahwa setiap hari menawarkan pembelajaran tersendiri. Memberikan kesempatan untuk mencapai target yang dinamis, yang bisa terus disesuaikan, dikembangkan, dan ditingkatkan. Lalu yang pasti, saya tahu jelas untuk siapa saja saya berjuang di sana, proses seperti apa yang ingin saya jalani, hal apa saja yang ingin saya petik dari proses tersebut, serta kemungkinan apa saja yang ingin saya wujudkan. Akhirnya saya pun menyimpulkan bahwa kombinasi dari berbagai aspek itulah yang membuat saya mampu menjalani rutinitas selama mengajar di SDN Puncakmanggu dengan senang hati.

Di sisi lain, timbul pertanyaan lain: mengapa dalam konteks yang lebih umum rutinitas diidentikan dengan kebosanan dan stagnasi? Rutinitas seringkali disandingkan dengan ‘realita’, yang sama-sama harus dihadapi dengan berat hati setelah mengakhiri kegiatan ‘menyenangkan’ seperti mengajar di pedesaan selama kurang dari satu bulan. Rutinitas dianggap sebagai jalan panjang yang harus dilewati untuk mendapatkan kebahagiaan di ujungnya. Rutinitas dimaknai sebagai beban yang harus dilepaskan sesekali lewat cuti kerja dua minggu setahun sekali atau masa liburan yang didapatkan setelah semester perkuliahan berhasil diakhiri. Semua dilakukan agar pemikulnya tetap waras. Tapi bukankah apa yang saya jalani selama mengajar tak lain merupakan sebuah bentuk rutinitas? Apakah saya belum sampai pada titik jenuh dan stagnasi hanya karena saya belum menjalaninya dalam waktu yang cukup lama? Entahlah, saya sendiri belum memiliki jawaban pasti. Tetapi saya memiliki keyakinan bahwa kita cukup berdaya—atau paling tidak memiliki potensi untuk itu—untuk menjadikan setiap elemen dari rutinitas kita sesuatu yang bermakna dan menjadi sumber semangat untuk memulai hari hingga akhir hidup kita. Hal itu bisa dimulai dengan membangun kesadaran dari dalam diri mengenai untuk siapa saja kita berjuang, proses seperti apa yang ingin dijalani, hal apa saja yang ingin dipetik dari proses tersebut, dan kemungkinan apa saja yang ingin diwujudkan menjadi kenyataan. Maknai alasan dan tujuan hidupmu, lalu jadikan rutinitas sebagai bagian terbaik dalam hidup yang menjembatani keduanya. Sebab setiap dari kita berhak akan kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan yang seakan terus menuntut kita untuk sejenak lari darinya.